A.
PENGERTIAN,
FUNGSI, PERANAN, & SIFAT PERS:
1. PENGERTIAN
PERS
Istilah
“pers” berasal dari kata persen (Belanda), press (Inggris) atau
presse (Prancis), berasal dari bahasa latin, pressare dari kata premere, yang berarti “menekan” yang
merujuk pada alat cetak kuno yang digunakan dengan menekan secara keras untuk menghasilka karya cetak pada lembaran kertas.
Menurut Gamle &
Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication),
dalam arti, media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh
jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.
Beberapa
pengertian pers :
a.
Kamus Umum
Bahasa Indonesia, pers berarti :
-
Alat cetak
untuk mencetak buku atau surat kabar.
-
Alat untuk
menjepit, memadatkan.
-
Surat kabar
dan majalah yang berisi berita.
-
Orang yang
bekerja di bidang peresuratkabaran.
b.
UU No. 40
tahun 1999 tentang pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa
yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk
tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam
bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala
jenis saluran yang tersedia.
Dari
pengertian pers menurut UU No. 40 Tahun 1999, pers memiliki dua arti, arti luas
dan sempit. Dalam arti luas, pers menunjuk pada lembaga sosial atau
pranata sosial yang melaksanakan kegiatan jurnalistik untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan informasi. Sedanglan
dalam arti sempit, pers merujuk pada wahana / media komunikasi massa
baik yang lektronik dan cetak.
2. FUNGSI
PERS
Tercantum dalam pasal 3
Undang-Undang No. 40/1999 disebutkan bahwa fungsi pers sebagai berikut :
a. Pers
nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan
kontrol sosial.
b. Disamping
fungsi-fungsi tersebut, pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Penjelasan:
1) Fungsi Informasi
Menyajikan
informasi karena masyarakat memerlukan informasi tentang berbagai hal yang
terjadi di masyarakat, dan Negara.
2) Fungsi Pendidikan
Sebagai sarana
pendidikan massa (mass education),
maka pers situ memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga
masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannya.
3) Fungsi Hiburan
Hal-hal yang
bersifat hiburan sering dimuat pers untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang
berbobot. Hiburan dapat berupa cerpen,
cerita bergambar, cerita bersambung, teka-teki silang, pojok, karikatur.
4) Fungsi Kontrol Sosial
Adalah sikap
pers dalam melaksanakan fungsinya yang ditujukan terhadap perorangan atau
kelompok dengan maksud memperbaiki keadaan melalui tulisan. Tulisan yang dimaksud memuat kritik baik
langsung atau tidak langsung terhadap aparatur Negara, lembaga masyarakat.
Dalamnya terdapat unsur-unsur
senagai berikut :
a)
Social participation (keikutsertaan rakyat dalam
pemerintah)
b) Social
responcibility (pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat)
c)
Social support (dukungan rakyat terhadap
pemerintah)
d)
Social control (kontrol masyarakat terhadap
tindakan-tindakan pemerintah)
5) Fungsi sebagai Lembaga Ekonomi
Pers adalah
sebuah berusahaan yang bergerak di bidang penerbitan. Pers memiliki bahan baku yang diolah sehingga
menghasilkan produk yang namanya
“berita” yang diminatai masyarakat dengan nilai jual tinggi. Semakin berkualitas beritanya maka semakin
tinggi nilai jualnya. Pers juga
menyediakan kolom untuk iklan. Pers
membutuhkan biaya untuk kelangsungan hidupnya.
3.
PERANAN PERS
Menurut Pasal 6 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut :
a.
Memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
b.
Menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak
asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum.
d. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan
benar.
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Pers
sebagai lembaga kemasyarakatan bisa mempengaruhi masyarakat karena ia bertindak
sebagai komunikator massa. Sementara itu agar dipercaya masyarakat, pers
berusaha menyampaikan informasi dengan sesuatu yang baru.
Namun
masyarakat sebagai konsumen pers, akan sangat selektif memilih informasi. Jika
penyajian pers tidak sesuai dengan keinginannya, tidak akan membeli dan
membacanya. Minat membaca masyarakat terhadap produk pers sangat berpengaruh
terhadap kehidupan pers itu sendiri. Pers sebagai lembaga kontrol sosial dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan
pemerintah. Apalagi bagi pemerintah yang banyak melakukan kesalahan dan
ketidakbenaran, kontrol sosial pers terasa sangat pedih dan sering kali
menggoyahkan kelangsungan pemerintahannya. Meskipun demikian, pemerintah juga
mampu mempengaruhi pers dengan cara memasang rambu-rambu berupa peraturan dan
perundangan agar pers bisa ditundukkan.
4.
SIFAT
PERS
a.
Teori-teori Tentang Pers
1)
Teori Pers Otoritarian/Otoriter:
Teori ini menganggap Negara sebagai ekspresi
tertinggi dari pada kelompok manusia, yang mengungguli masyarakat
dan individu. Negara adalah hal yang sangat penting yang dapat membuat manusia
menjadi manusia seutuhnya anpa Negara manusia menjadi primitif tidak mencapai
tujuan hidupnya. Oleh karena itu pers adalah alat penguasa untuk
menyampaikan keinginannya kepada rakyat.
Prinsip-prinsipnya:
a) Media selamanya tunduk pada penguasa.
b) Sensor dibenarkan.
c) Kecaman terhadap penguasa dan penyimpangan kebijakannya
tak dapat diterima.
d) Wartawan tidak memiliki kebebasannya.
2)
Teori Pers Libertarian/Liberal:
Teori menganggab bahwa pers
merupakan sarana penyalur hati nurani rakyat untuk mengawasi
dan menetukan sikap terhadap kebijakan pemerintah. Pers berhadapan dengan
pemerintah Pers bukanlah alat kekuasaan pemerintah. Teori ini menganggab sensor
sebagai hal yang Inkonstitusional.
Tugas-tugasnya:
a)
Melayani kebutuhan ekonomi (iklan).
b)
Melayani kehidupan politik.
c)
Mencari keuntungan (kelangsungan hidupnya).
d)
Menjaga hak warga Negara (control social).
e)
Memberi hiburan.
Ciri-cirinya:
a)
Publikasi bebas dari penyensoran.
b)
Tidak memerlukan ijin penerbitan, pendistribusian.
c)
Kecaman terhadap pejabat, partai politik tidak
dipidana.
d)
Tidak ada kewajiban untuk mempublikasikan segala hal.
e) Publikasi kesalahan dilindungi sama dengan publikasi
kebenaran sepanjang menyangkut opini dan keyakinan.
f)
Tidak ada batas hukum dalam mencari berita.
g)
Wartawan mempunyai otonomi professional.
3)
Pers Tanggung Jawab Sosial:
Mengemukakan
bahwa kebebasan pers harus disertai dengan tanggung jawab kepada masyarakat,
kebebasan pers perlu dibatasi oleh dasar moral, etika dan hati nurani insan
pers sebab kemerdekaan pers itu harus disertai tanggung jawab kepada
masyarakat.
4)
Teori Pers komunis:
Menyatakan pers adalah alat
pemerintah atau partai yang berkuasa dan bagian integral dari negara sehingga
pers itu tunduk kepada negara. Ciri-ciri pers Komunis adalah :
a)
Media dibawah kendali kelas pekerja karena pers
melayani kelas tersebut.
b)
Media tidak dimiliki secara pribadi.
c)
Masyarakat berhak melakukan sensor.
5)
Teori Pers Pembagunan:
Menurut
Wilbur Schramm Pers Pembangunan memiliki ciri-ciri:
a)
Pers harus dapat menciptakan
iklim pembangunan di negaranya.
b)
Pers harus mampu mengarahkan
perhatian masyarakat darikebiasaan lama menjadi perilaku yang lebih maju lagi.
c)
Pers harus mampu memperluas
pandangan (cakrawala) bagimasyarakatnya.
d) Pers harus mampu meningkatkan aspirasi dan mendorongmasyarakat
berpola pikir ke arah kehidupan yang lebih baik lagi.
e)
Pers harus mampu menetapkan
norma sosial.
b. Sifat-sifat Pers
Sifat pers berbeda-beda
tergantung dari ideologi yang di anut oleh masing-masing negara tersebut.
Berikut ini adalah sifat-sifat pers:
a. Pers
Demokrasi Liberal (Liberal Democration Press)
Pers ini memiliki kebebasan secara mutlak, dapat
mengkirtik siapa saja dan dapat menayangkan apa saja.
b. Pers
Komunis (Communist Press)
Disini suara pers haruslah samadengan suara partai
komunis yang berkuasa dan watwannya juga adalah orang yang setia pada partai
komunis.
c. Pers
Otoriter (Authoritarian Press)
Sifat pers ini hampir sama dengan komunis, kalau
pers komunis setia dengan partai komunisnya tapi kalau pers otoriter tunduk
pada penguasa negara tersebut.
d. Pers
Bebas dan Bertanggung Jawab (Freedom and
Responsibility Press)
Jadi ketika pers mempublikasikan sesuatu, mereka
juga harus bisa mempertanggung jawabkannya. misalkan: dengan memberitakan
sesuatu dengan tidak secara vulgar.
e.
Pers
Pembangunan (Development Press)
Istilah ini dimunculkan oleh para
jurnalis dari negara-negara yang sedangberkembang (development country ). Alasannya,
negara-negara yang sedang berkembang itu sedang giat-giatnya melakukan
pembangunan.
f.
Pers Pancasila (Five
Foundation Press)
Pers Pancasila dilahirkan oleh bangsa
Indonesia karena falsafahnegaranya adalah Pancasila.Pers Pancasila mencari
keseimbangan dalam berita atau tulisannya demikepentingan dan kemaslahatan
semua pihak sesuai dengan konsensusdemokrasi Pancasila.
Pers
merupakan lembaga yang berdiri sendiri. Pers lebih dikenal sebagai “Lembaga
Kemasyarakatan” (social institution). Pers hidup ditengah-tengah masyarakat,
tetapi bukan bagian dari masyarakat itu, dan berada dalam satu negara, tetapi
bukan bagian dari pemerintahan negara tersebut.
B.
KODE
ETIK JURNALISTIK
1. KODE ETIK
AJI
(ALIANSI
JURNALIS INDEPENDEN)
a. Jurnalis
menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
b. Jurnalis
senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam
peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
c. Jurnalis
memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk
menyuarakan pendapatnya.
d. Jurnalis
hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
e. Jurnalis
tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
f. Jurnalis
menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.
g. Jurnalis
menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the
record, dan embargo.
h. Jurnalis
segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
i. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi
konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di
bawah umur.
j. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap
merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik,
cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya.
k. Jurnalis
menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
l. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar
kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual.
m. Jurnalis
tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari
keuntungan pribadi.
n. Jurnalis tidak
dibenarkan menerima sogokan.
(Catatan:
yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang
dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat
mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.)
o. Jurnalis
tidak dibenarkan menjiplak.
p. Jurnalis
menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
q. Jurnalis
menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan
prinsip-prinsip di atas.
r.
Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan
diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
2. KODE ETIK
PWI
(PERSATUAN
WARTAWAN INDONESIA)
Merupakan
hasil Kongres XXII di Banda Aceh pada tanggal 27-29 Juli 2008. Draf awal adalah
keputusan Konkernas PWI pada tanggal 4-10 Juli 2007 di Jayapura, Papua.
Pembukaan
Bahwa sesungguhnya salah satu perwujudan
kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28
Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu kemerdekaan pers wajib dihormati oleh
semua pihak.
Mengingat Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, seluruh wartawan
Indonesia menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang
bertanggung jawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memperjuangkan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
berdasarkan Pancasila.
Maka atas dasar itu, demi
tegaknya harkat, martabat, integritas, dan mutu kewartawanan Indonesia serta
bertumpu pada kepercayaan masyarakat, dengan ini Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh
seluruh wartawan terutama anggota PWI.
I.
Kepribadian
Dan Integritas
Pasal
1
Wartawan Indonesia beriman dan
bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat kepada
undang-undang Dasar Negara RI, kesatria, menjunjung harkat, martabat manusia
dan lingkungannya, mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara serta
terpercaya dalam mengemban profesinya.
Pasal
2
Wartawan Indonesia dengan penuh rasa
tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya
jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan
keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung
perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh
undang-undang.
Pasal
3
Wartawan Indonesia pantang
menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang
menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional.
Pasal
4
Wartawan Indonesia menolak imbalan
yang dapat mempengaruhi obyektivitas pemberitaan.
II.
Cara
Pemberitaan Dan Menyatakan Pendapat
Pasal
5
Wartawan Indonesia menyajikan berita
secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak
mencampur adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi
interpretasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas
penulisnya.
Pasal
6
Wartawan Indonesia menghormati dan
menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan,
suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali
menyangkut kepentingan umum.
Pasal
7
Wartawan Indonesia dalam
memberitakan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum atau proses
peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan
penyajian yang berimbang.
Pasal
8
Wartawan Indonesia dalam
memberitakan kejahatan susila (asusila) tidak merugikan pihak korban.
III.
Sumber
Berita
Pasal 9
Wartawan Indonesia menempuh cara
yang sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik (tulisan,
suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber
berita.
Pasal
10
Wartawan Indonesia dengan kesadaran
sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian
ternyata tidak akurat, dan memberi kesempatan hak jawab secara proporsional
kepada sumber atau obyek berita.
Pasal
11
Wartawan Indonesia meneliti
kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber
berita.
Pasal
12
Wartawan Indonesia tidak melakukan
tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya.
Pasal
13
Wartawan Indonesia harus menyebut
sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut
nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data bukan opini.
Apabila nama dan identitas sumber
berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang
bersangkutan.
Pasal
14
Wartawan Indonesia menghormati
ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang
oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak
menyiarkan keterangan "off the record".
IV.
Kekuatan
Kode Etik Jurnalistik
Pasal
15
Wartawan Indonesia harus dengan
sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI)
dalam melaksanakan profesinya.
Pasal
16
Wartawan Indonesia menyadari
sepenuhnya bahawa penaatan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati
nurani masing-masing.
Pasal
17
Wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan
dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah
sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan
dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.
Tidak satu pihakpun di luar PWI yang dapat mengambil
tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasarkan pasal-pasal
dalam Kode Etik Jurnalistik ini.
C. PERS YANG
BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB SESUAI KODE ETIK JURNALISTIK
1. LANDASAN HUKUM PERS INDONESIA
1). Pasal 28 UUD 1945,
berbunyi kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.
2). Pasal 28 F UUD 1945,
berbunyi setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
3).
Tap MPR No. XVII/MPR/1998, tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 20 dan 21 yang
bebunyi :
-
Pasal 20, Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi di
lingkungan sosialnya.
-
Pasal 21, Setiap orang berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
4). UU N0. 39 tahun 2000 pasal 14 ayat 1 dan 2 :
-
Ayat 1 yaitu Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi di
lingkungan sosialnya.
-
Ayat 2 yaitu Setiap orang berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
5). UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers pasal 2 dan
pasal 4 ayat 1 :
-
Pasal 2 berbunyi Kemerdekaan pers adalah
salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi,
keadilan, dan supremasi hukum.
-
pasal 4 ayat 1 berbunyi Kemerdekaan pers dijamin
sebagai hak asasi warganegara.
2. DEWAN PERS
Menurut
UU No. 40 tahun 1999 tentang pers pada pasal 15 ayat 1 menyatakan Dewan Pers
yang independen dibentuk dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan
meningkatkan kehidupan pers nasional. Fungsi-fungsi dewan pers adalah :
- Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.
- Melaksanakan pengkajian untuk pengembangan pers.
- Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
- Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
- Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
- Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyususn peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
- Mendata perusahaan pers (Pasal 15 ayat 2).
3.
ANGGOTA DEWAN PERS
Keangotaan
dewan pers terdiri dari :
- Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan.
- Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh orhganisasi perusahaan pers.
- Tokoh masyarakat, ahli bidang pers atau komunikasi dan bidang lainnya yang dipilih oleh arganisasi perusahaan pers;
- Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh anggoata.
- Keanggotaan dewan pers ditetapkan dengan keputusan Presiden.
- Masa Jabatan anggota tiga tahun dan dapat dilpilih kembali untuk satu periode.
4. LANDASAN PERS NASIONAL
- Landasan idiil adalah Falsafah Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
- Landasan Konstitusi adalah UUD 1945.
- Landasan Yuridis adalah UU Pokok Pers yaitu UU No. 40 tahun 1999.
- Landasan Profesional adalah Kode Etik Jurnalistik.
- Landasan Etis adalah tata nilai yang berlaku di masyarakat.
D. KEBEBASAN
PERS
Kebebasan
pers di Indonesia merupakan hal yang baru sehingga rawan gangguan.
Secara umum ada dua macam gangguan :
1.
Pengendalian Kebebasan Pers yaitu masih
ada pihak-pihak yang tidak suka dengan adanya kebebasan pers, sehingga mereka
ingin meniadakan kebebasan pers.
Ada 4 faktor ayng menyebabkan terjadinya pengendalian kebebasan pers,
yaitu :
a.
Distorsi Peraturan Perundang-undangan, contoh
dalam UUD 1945 pasal 28 sudah sangat jelas menjamin kebebasan pers, tidak ada
sensor, tidak ada breidel, setiap warganegar dapat malakukan perusahaan pers
(UU No. 11 tahun 1966). Namun muncul UU No. 21 tahun 1982 tentang pokok
pers. Di dalamnya mengatur tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP) serta menteri penerangan dapat membatalkan SIUPP walaupun tidak
menggunakan istilah breidel.
b.
Perilaku Aparat, yaitu perilaku aparat dengan cara
menelpon redaktur, mengirimkan teguran tertulis ke redaksi media massa,
membreidel surat kabar dan majalah, kekerasan fisik pada wartawan, menangkap,
memenjarakan, bahkan membunuh wartawan.
c.
Pengadilan Massa, Ketidak puasan atau merasa
dirugikan atas suatu berita dapat menimbulkan pengadilan massa dengan menghukum
menurut caranya sendiri, menteror, penculikan pengrusakan kantor media massa,
dll.
d.
Perilaku Pers Sendiri, perolehan
laba menjadi lebih utama daripada penyajian berita yang berkualitas dan
memenuhi standar etika jurnalistik, karena iming-iming keuntungan yang lebih
besar.
2.
Penyalahgunaan Kebebasan Pers yaitu insan
pers memamfaatkan kebebasan yang dimilikinya untuk melakukan kegiatan
Jurnalistik yang bertentangan dengan fungsi dan peranan yang diembannya.
Oleh karena itu tantangan terberat bagi wartwan adalah kebebasan pers itu
sendiri. Contoh penyalahgunaan
kebebasan pers, seperti penyajian berita atau informasi yang
tidak akurat, tidak objektif, bias, sensasional, tendensius, menghina,
memfitnah, menyebarkan kebohongan, fornografi, menyebarkan permusuhan,
mengeksploitasi kekerasan, dll.
II. SEJARAH PERS DI INDONESIA
Dr. Krisna
Harahap membagi periode perkembangan pers di Indonesia menjadi lima, yaitu :
1)
Jaman Kolonial (tahun 1903 – 1945)
2)
Jaman Demokrasi Liberal (tahun 1949 – 1959)
3)
Jaman Demokrasi Terpimpin (tahun 1959 – 1966)
4)
Jaman Orde Baru (tahun 1966 – 1998)
5)
Jaman Reformasi (tahun 1998 – Sekarang)
A. JAMAN KOLONIAL (1903-1945)
Pada abad ke 20, tepatnya tahun
1903, koran mulai menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham
antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers
terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masjarakat” (1951) menulis,
bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie
wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan
Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi
pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani
mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.
Raden Mas Djokomono
Tirto Adhi Soerjo merupakan salah satu tokoh pelopor Pers pertama di
Indonesia. Beliau lahir di Blora tahun 1880. Di Bandung Beliau menerbitkan
surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia
(1908). Sebelum menerbitkan “Medan Prijaji”, Januari 1904 beliau mendirikan
dulu badan hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in
schrijfbehoeften Medan Prijaji. Medan Prijaji beralamat di jalan Naripan
Bandung yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat
Kebudayaan-YPK). Medan Prijaji dikenal sebagai surat
kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan
seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya
adalah pribumi Indonesia asli.
Pada
tahun 1909, Beliau membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir
Purworejo, A. Simon. Delik pers pun terjadi, Beliau dituduh menghina pejabat
Belanda, terkena Drukpersreglement 1856 (ditambah Undang-undang pers tahun
1906). Meskipun Beliau memiliki forum privilegiatum (sebagai ningrat, keturunan
Bupati Bojonegoro) Beliau dibuang ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan.
Pada pertengahan kedua tahun 1910, Medan Prijaji diubah menjadi “harian”
ditambah edisi Mingguan, dan dicetak di percetakan Nix yang beralamat di
Jalan Naripan No. 1 Bandung. Inilah harian pertama yang benar-benar milik
pribumi. Masa kejayaan Medan Prijaji antara 1909-1911 dengan tiras sebanyak
2000 eksemplar.
Pemberitaan-pemberitaan
harian Medan Prijaji sering dianggap menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda saat itu. Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap
menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi
putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami R.A. Kartini) menggantikan ayahnya. R.M. Tirto Adhi Soerjo pun dijatuhi
pembuangan ke pulau Bacan, wilayah Halmahera selama 6 bulan, namun baru
diberangkatkan setahun kemudian karena masalah perekonomian penerbitan Medan
Prijaji dengan para krediturnya.
Sekembali
dari Ambon, R.M. Tirto Adhi Soerjo
tinggal di Hotel Medan Prijaji (ketika ia sedang di Ambon namanya diubah
menjadi Hotel Samirono oleh Goenawan). Antara tahun 1914-1918, R.M. Tirto Adhi Soerjo sakit-sakitan
dan akhirnya meninggal pada tanggal 7 Desember 1918. Dan Ditahun ini pula
terbit surat kabar Benih Merdeka oleh Parada Harahap di Padangsidempuan.
Sementara
itu, di tahun-tahun berikutnya setelah kematian R.M.
Tirto Adhi Soerjo, terbit beberapa surat kabar di lain daerah seperti
Padjadjaran (Bandung, 1921), Kaoem Moeda (Bandung, 1922), Perbincangan
(Bandung, 1925), Perasaan Kita (Bandung, 1925), Harian Fadjar (Bandung, 1925).
Indonesia Moeda (Bandung, 1926), Fikiran Ra'jat (Bandung, 1926), dan Bidjaksana
(Rangkasbitung, 1926).
Koran-koran
lainnya yang juga tercatat adalah Galih Pakoean, Kesatrya, Mingguan
Pertimbangan dan Kawan Kita yang terbit di Tasikmalaya. Saat yang sama terbit
pula Sinar Pasoendan, Bandung, Poesaka Cirebon, Warta Tjirebon, Soeloeh Ra'jat,
Soeara Poeblik, Nicork - Express, Berita Priangan, Sepakat, Koran Indonesia,
dan Berita Oemoem.
Adapun,
koran-koran Sunda yang tercatat pada masa ini antara lain, Sora-Merdika
(Bandung, 1920), Soenda Berita, Mingguan Soenda Soemanget, Siliwangi, Pendawa,
Masa Baroe, Sapoedjagad, Simpaj, Isteri Merdeka, dan koran Panglima yang terbit
di Tasikmalaya. Adapun, Sipatahoenan, tercatat sebagai koran Sunda pertama yang
terbit harian. Pada masa itu pula terbit Sinar Pasoendan, Tawekal, Galoeh, dan
Balaka.
Sayangnya semua koran
itu harus tutup pada masa pendudukan Jepang. Semua koran itu disatukan menjadi
satu penerbitan yaitu surat kabar Tjahaja di bawah pengawasan Sendenbu.
Pimpinan Tjahaja pada waktu itu ditunjuk Oto Iskandar Di Nata dan Bratanata.
Di Zaman
pendudukan Jepang yang totaliter dan fasistis, orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak
dengan ketajaman penanya tetapi melalui organisasi keagamaan, pendidikan,
politik, sebab kehidupan pers pada zaman Jepang sangat tertekan.
Beberapa
hari setelah teks proklamasi dikumandangan oleh Bung Karno, telah terjadi
perebutan terhadap perusahaan Koran Jepang, seperti Soeara Asia di Surabaya, Tjahaja
di Bandung, dan Sinar Baroe di Semarang.
Koran-koran tersebut pada tanggal 19 Agustus 1945 memuat berita sekitar
Kemerdekaan Indonesia, Teks Proklamasi, Pembukaan UUD, Lagu Indonesia
Raya. Sejak saat itu Koran dijadikan
alat mempropagandakan kemerdekaan Indonesia, walaupun masih mendapat ancaman
dari tentara Jepang.
B. JAMAN DEMOKRASI LIBERAL (1945 – 1959)
Di era
demokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi RIS 1949 dan UUD
Sementara 1950. Pada pasal 19 Konstitusi
RIS 1949, disebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat”. Kemudian pasal ini juga di
cantumkan di dalam UUD Sementara 1950.
Tahun 1946 pihak pemerintah mulai merintis hubungan
dengan pers. Pada masa itu, telah
disusun peraturan yang mengatur tentang percetakan, pengumuman dan
penerbitan dan tercantum dalam Dewan
Pertahanan Negara No. 11 Tahun 1946. Ada juga perubahan aturan yan tercantum
dalam Wetboek van Strafrecht, seperti
Drukpersreglement tahun 1856 dan Presbreidel Ordonantie tahun 1931 yang
mengatur tentang kejahatan dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong,
dan sebagainya. Namun, pelaksanaan upaya ini tertunda akibat invasi dari pihak
Belanda dengan pembatasan pers yang berefek samping keluhan wartawan lokal terhadap pers Belanda dan Cina,
oleh karena itu Negara mencari cara untuk membatasi penerbitan asing di
Indonesia, sebab pemerintah tidak ingin membiarkan ideologi asing merongrong
UUD, sehingga pemerintah mengadakan “pembredelan” pers namun tidak hanya kepada pers asing saja.
Tindakan
pembatasan pers terbaca dalam artikel Sekretaris Jenderal Kementerian
Penerangan, Ruslan Abdulgani, antara lain….”khusus
di bidang pers beberapa pembatasan perlu dilakukan atas kegiatan-kegiatan
kewartawanan orang-orang asing….”
Barulah setelah Indonesia mendapat kedaulatannya tahun
1946, pembenahan dibidang pers dilanjutkan kembali. Pada tahun itu, diusulkan
pelaksanaan UU pasal 19 dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya
tanggal 17 Desember 1949, yang intinya “Pemerintah RI memperjuangkan pelaksanan
kebebasan pers yang mencakup memberi perlindungan pers nasional dan fasilitas
yang dibutuhkan perusahaan surat kabar, dan mengakui kantor berita ANTARA sebagai kantor berita nasional
yang patut menerima fasilitas dan perlindungan”.
Tanggal 15 Maret 1950 dibentuk Panitia Pers guna
mempererat hubungan pemerintah dengan pers dan guna menanggapi usulan UU pasal
19. Dengan upaya tersebut memungkinkan
terciptanya iklim pers yang tertib dan menguntungkan semua pihak.
Pemerintah juga menetapkan kebijakan dibidang pers yang sifatnya
positif. Pemerintah membentuk dewan pers yang terdiri dari orang-orang persurat
kabaran, cendekiawan, serta pejabat-pejabat pemerintah. Adapun dewan ini
mempunyai tugas yaitu :
1. Pengertian
undang-undang pers colonial.
2. Pemberian
dasar social ekonomis yang lebih kuat pada pers Indonesia.
3. Peningkatan
mutu jurnalisme Indonesia.
Era liberal itu, ditandai dengan peningkatan tiras surat kabar di
Indonesia. Tahun 1950, sebanyak 67 harian yang terbit berbahasa Indonesia
bertiras sekitar 338.300 eksemplar. Kemudian pada 1957, jumlah harian di
Indonesia bertambah menjadi 96 judul dengan tiras mencapai 888.950 eksemplar.
Setahun sebelum pemilihan umum pertama, 1955, terdapat setidaknya 27 koran yang
terbit di Jakarta. Total tiras seluruh surat kabar tersebut mencapai 320.000
eksemplar, dengan empat surat kabar besar, yakni harian Rakyat, koran organ PKI
yang mempunyai tiras hingga 55.000 eksemplar, Pedoman yang berorientasi PSI
dengan tiras 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia yang ditengarai oleh organ PNI
dengan tiras 40.000 eksemplar dan harian Abadi yang berorientasi Masyumi dengan
tiras 34.000 eksemplar.
Sepanjang masa demokarasi konstitusional hingga pemberlakuan undang-undang
darurat perang pada 1957, terdapat setidaknya tujuh kabinet koalisi. Ketika
mencapai puncak kekuasaannya, setiap partai yang memerintah tentu memberikan
perhatian yang lebih besar kepada organ-organ dan para pengikutnya. Seperti,
menyediakan kredit pendanaan pers serta keperluan kantor. Sementara, di lain
pihak, surat kabar dari kaum oposisi berulang kali diberangus.
Pada tahun selanjutnya, pers dan wartawan di Indonesia masih diliputi
suasana penuh tantangan akibat dari berlarut-larutnya revolusi dan masih
manifesnya penjajah untuk kembali ke Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa setelah kemerdekaan, semangat yang menjiwai
perjuangan kemerdekaan mulai luntur, terjadi persaingan keras antar kekuatan
politik. Pers Indonesia ikut larut dalam arus ini, terjadi perubahan watak dari
pers perjuangan menjadi pers partisipan. Pers sekadar menjadi corong partai
politik. Meskipun pers bersifat partisipan, bisa dikatakan periode ini adalah
masa bahagia yang singkat buat kebebasan pers, khususnya untuk wartawan
politik. Inilah akhir periode kebebasan pers di Indonesia dan awal rezim Orde
lama berkuasa.
C. JAMAN DEMOKRASI TERPIMPIN (1959 – 1966)
Beberapa
hari setelah Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan
penekanan pers terus berlangsung, yaitu penutupan Kantor
Berita PIA, Surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po
yang dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.
Upaya dalam
membatasi kebebasan pers tercermin dalam pidato Menteri Muda Penerangan yaitu
Maladi dalam sambutan ketika HUT Kemerdekaan RI ke – 14, menyatakan “…Hak kebebasan individu disesuaikan dengan
hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan
memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin UUD 1945 harus ada batasnya:
keamanan Negara, kepentingan bangsa, moral, dan kepribadian Indonesia, serta
tanggung jawab kepada Tuhan YME”.
Pergolakan politik yang terus terjadi selama era demokrasi
liberal, menyebabkan Presiden Soekarno mengubah sistem politik yang berlaku di
Indonesia. Pada 28 Oktober 1956, Soekarno mengajukan untuk mengubah demokrasi
liberal menjadi demokrasi terpimpin. Selanjutnya, pada Februari 1957, Soekarno
kembali mengemukakan konsep demokrasi Terpimpin yang diinginkannya. Hampir
berselang dengan terjadinya berbagai pemberontakan di banyak daerah di
Indonesia yang melihat sentralitas atas hanya daerah dan penduduk Jawa.
Munculnya berbagai pemberontakan di daerah dan di pusat
sendiri, membuat Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat Perang pada 14
Maret 1957. Selama dua tahun Indonesia terkungkung dalam perseturuan antara
parlemen melawan rezim Soekarno yang berkolaborasi dengan militer. Namun, tak
berselang lama, Soekarno menerbitkan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar 45,
disusul dengan pelarangan Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi, karena
keterlibatan kedua partai tersebut dalam pemberontakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958 di Sumatera.
Kegagalan Soekarno, menyebabkan ia segera berpaling
kepada PKI dan menstimulasi pihak militer agar memberi dukungan penuh pada
dirinya. Sebaliknya, PKI bergantung kepada Soekarno untuk dapat memimpin
bangsa. Berbagai slogan politik mulai bermuculan, seperti Manipol (Manifesto
Politik), Berdikari (Berdiri Di Atas Kaki Sendiri), Nefos (New Emerging Forces)
dan Oldefos (Old Establishment Forces), ditambah dengan upaya dilplomasi serta
manuver konfrontasi dengan Malaysia.
Soekarno menstimulasi rakyat dengan
semangat revolusi, dengan dirinya sebagai tokoh pemimpin revolusi. Sepanjang
periode Demokrasi Terpimpin dan diberlakukannya Undang-Undang Darurat Perang,
pers pun mengalami era terpimpin ini. Presiden Soekarno memerintahkan pers agar
setia kepada ideologi Nasakom serta memanfaatkannya untuk memobilisasi rakyat.
Soekarno tidak ragu-ragu untuk melarang surat kabar yang menentangnya. Di bawah
Soekarno, surat kabar yang dikelola oleh kaum komunis tumbuh subur. Muncul
perlawanan dari kelompok surat kabar sayap kanan nasionalis, yang
mengatasnamakan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Konflik antara surat kabar
sayap kanan dengan surat kabar kelompok kiri tidak terelakkan. Soekarno
ternyata lebih memilih kaum kiri, dan surat kabar kaum kanan yang anti komunis
dilarang terbit.
Pada awal
tahun 1960, penekanan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Penerangan
Maladi, bahwa akan dilakukan langkah-langkah tegas terhadap surat kabar,
majalah-majalah, kantor-kantor berita yang tidak mentaati peraturan yang diperlukan
dalam usaha menerbitkan pers nasional.
Para wartawan harus mendukung politik pemerintah dan pengambialihan
percetakan oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah tersebut
tertumpu pada Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) No. 10/1960 dan
Perpres No.6/1963 yang menegaskan kembali perlunya izin terbit bagi setiap penerbitan
surat kabar dan majalah.
Periode Demokrasi Terpimpin umumnya dikatakan sebagai
periode terburuk bagi sejarah perkembangan pers di Indonesia. Hal ini bisa
dimaklumi karena persepsi, sikap, dan perlakuan penguasa terhadap pers
Indonesia telah melampaui batas-batas toleransi. Penguasa Demokrasi Terpimpin
memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam memobilisasi massa dan
opini publik. Pers seakan-akan dilihat sebuah senapan yang siap menembakkan
peluru (informasi) ke arah massa atau khalayak yang tak berdaya. Pers dianggap
sebagai alat “revolusi” yang besar pengaruhnya untuk menggerakkan atau
meradikalisasi massa untuk menyelesaikan sebuah revolusi. Pandangan ini dapat
dilihat pada bagian pendahuluan dari pedoman penguasa Perang Tertinggi, 12
Oktober 1960 untuk pers Indonesia yang berbunyi :
“Sebagaimana kita semua telah memaklumi, surat kabar
dan majalah merupakan alat publikasi yang dapat dipergunakan untuk mempengaruhi
pendapat umum. Oleh karena itu, maka surat kabar dan majalah tersebut dapat
dipergunakan sebagai alat penggerak massa untuk menyelesaikan revolusi Indonesia
menuju masyarakat yang adil dan yang makmur.”
Oleh karena itu, rezim Demokrasi Terpimpin merasa perlu
menguasai seluruh pers, yang dalam praktik bukannya untuk memperbaiki kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik masyarakat tetapi untuk revolusi kekuasaan rezim
itu sendiri. Atas dasar itulah penguasa melakukan rekayasa terhadap pers
melalui system regulasi yang represif. Misalnya penguasa mengeluarkan Sebuah
Pedoman Penguasa Perang Tertinggi untuk Pers Indonesia pada 12 Oktober 1960.
Tujuan utama dari pedoman ini adalah mewajibkan pers
menjadi pendukung, pembela, alat penyebar manifesto politik Soekarno serta
mewajibkan pers untuk memiliki izin terbit. Hal ini dilakukan oleh penguasa
untuk mempercepat retooling alat-alat publikasi, terutama surat kabar dan
majalah, sehingga ia dapat menjadi alat dan pendukung revolusi.
Setiap penerbit pers yang akan mengajukan surat izin
terbit diharuskan mengisi sebuah formulir berisi 19 pasal pernyataan yang
mengandung janji penanggung jawab penerbit surat kabar dan majalah seandainya
ia sudah diberi izin terbit.
Jika diteliti pasal per pasal memperlihatkan usaha
penguasa untuk benar-benar “menjinakkan” pers di dalam cengkeraman
kekuasaannya. Bagi penerbit yang tidak bersedia menandatangani perjanjian 19
pasal ini, otomatis tidak diperkenankan melanjutkan penerbitannya. Para
penanggung jawab surat kabar dan majalah yang masih ingin mempertahankan nurani
serta idealismenya, kebanyakan tidak bersedia menandatanganinya dan lebih suka
menutup sendiri penerbitannya.
Cara retooling ini sangat efektif untuk menjinakkan
atau memakai istilah Mochtar Lubis (1978), mengebiri pers. Akhirnya pers yang
tersisa atau masih terbit adalah pers yang sudah jinak dan mandul yang
kesetiaannya tidak diragukan lagi. Mengutip cerita Alfian (1991) :
“Bung Karno yang praktis mendominasi kehidupan politik pada waktu itu
boleh dikatakn juga mendominir komunikasi politik. Sebagai komunikator yang
luar biasa, pidato-pidatonya yang sering panjang mempesona yang
mendengarkannya. Media cetak boleh dikata menuruti apa saja yang diucapkannya.
Pada umunya ulasan atau tajuk rencana memberikan dukungan dan bahkan sering
mengagun-agungkannya. Bung Karno memang termasuk tokoh yang suka dikritik, dan
semakin besar kekuasaannya semakin sensitive pula dia terhadap kritik.
Mengetahui itu pers semakin takut kepadanya, dan bersamaan dengan itu isi media
massa makin memuja dan menyanjungnya. Proses pengkultusan individunya meningkat
pula.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno, lebih cenderung
memperlakukan pers sebagai extension of power-nya. Tahun-tahun tersebut dapat
digambarkan sebagai berkuasanya pers komunis dan pers
simpatisan-simpatisipannya. Sementara, pers lainnya yang berada dalam posisi
kontra terhadap rezim Soekarno, menolak Manipol, dan pers Liberal, diasingkan
atau menuai pembredelan.
Dominasi pers komunis dan simpatisan-simpatisannya
dalam peta ideologi pers Indonesia tahun 1957-1965 merupakan
konsekuensi-konsekuensi logis dari semangat kuat dan meningkantnya pengaruh
politik PKI dan Soekarno. Dan menjadi catatan sejarah, tanggal 24 Februari 1965,
pemerintah melakukan pembredelan surat kabar secara masal. Kurang lebih
kebanyak 28 surat kabar di Jakarta dan daerah dilarang terbit secara mutlak.
Posisi pers pada tahun-tahun itu berubah secara
radikal sejak peristiwa berdarah G30S/PKI. Karena, dalam masa selanjutnya,
terhitung tanggal 1 Otober 1965, seluruh pers yang dianggap sebagai simpatisan
PKI dilarang terbit untuk selama-lamanya oleh penguasa rezim baru saat itu di
bawah Soeharto.
D. JAMAN ORDE BARU ( 1966 –
1998)
Pada awal
kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan
dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan
Soeharto yang diharapkanakan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama.
Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara
lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia
mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin
pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang
seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah
sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanandari pemerintah. Tidak ada kebebasan
dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media
massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya
akan mengancam penerbitannya. Pada masa orde baru, segala penerbitan di media
massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan.
Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal
yang baik tentang pemerintahan orde baru.
Pers seakan-akan
dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers
tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela
masyarakat. Pemerintahan Orde Baru mencetuskan Pers Pancasila dengan
membuang jauh praktik penekanan pers di masa Orde Lama. Pemerintah orde baru sangat mementingkan
pemahaman tentang Pers Pancasila.
Menurut rumusan Sidang Pleno XXV
Dewan Pers (Desember 1984), yang dimaksud Pers Pancasila , adalah pers
Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Hakekat Pers
Pancasila, adalah pers yang sehat dan bertanggung jawab dalam menjalankan
fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi
rakyat, kontrol sosial yang konstruktif. Kebebasan ini di dukung dengan lahirnya UU Pokok
Pers No. 11 tahun 1966,
yang menjamin tidak ada sensor dan pembreidelan dan setiap warga Negara punya
hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat
ijin usaha penerbitan Pers (SIUPP).
Kebebasan pers ini hanya berlangsung sekitar 8 tahun,
sebab dengan terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974)
disinyalir disebabkan berita-berita yang terlalu bebas tanpa sensor yang
menyiarkan berbagai hal yang dapat menyulut emosi mahasiswa untuk melakukan
demonstrasi pada pemerintah orde
baru. Oleh karena itu beberapa surat
kabar dilarang terbit termasuk Kompas dan di ijinkan terbit kembali setelah
permintaan maaf. Para wartawan diingatkan untuk mentaati kode etik jurnalistik.
Namun, pers setelah
peristiwa Malari
cenderung pers yang mewakili penguasa, pemerintah atau Negara, pers tidak
menjaankan fungsi kontrol sosialnya dengan kritis, mirip dengan di masa
demokrasi terpimpin, hanya bedanya di masa Orde Baru, pers dipandang sebagai
institusi politik yang harus diatur dan dikontrol. Dan
hal ini mengakibatkan terjadinya pemberedelan beberapa surat kabar di Indonesia.
Tanggal
21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut
surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka
mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh
pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku
menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar
diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa
yangmenentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu
ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah
pembredelan bersama para pendukungnya yang anti rezim Soeharto. Pembredelan
Tempo serta perlawanannya terhadap pemerintah Orde Baru Pembredelan 1994 ibarat
hujan, jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secaramenyeluruh. Tidak
baru, tidak aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam ekosistemnya.
Sebelum dibredel
pada 21 Juni 1994, Tempo menjadi majalah berita mingguan yang paling pentingdi
Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Gunawan Mohammad yang merupakan seorang
panyair dan intelektual yang cukup terkemuka di Indonesia. Pada 1982
majalah Tempo pernah ditutup untuk sementara waktu, karena berani melaporkan
situasi pemilu saat itu yang ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo diizinkan
kembali untuk terbit. Pemerintah Orde Baru memang selaluwas-was terhadap Tempo,
sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah. Majalah ini memang
popular dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam
mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap
pemerintah di tuliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan
pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja
jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”. Meskipun
berani melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari tekanan.
Apalagidalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta
keburukan pemerintah, Tempo telah mendapatkan berkali-kali mendapatkan
peringatan.
Hingga akhirnya
Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu. Namun perjuangan
Tempo tidak berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari riwayat Tempo.
Untuk tetap survive, ia harus menggunakan trik dan startegi.Salah satu trik dan
strategi yang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat
aktif menjadi pasif danyang kedua adalah stategi pinjam mulut. Semua strategi
itu dilakukan Tempo untuk menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen
dan terbuka. Tekanan yang dating bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan
semangat Tempo untuk terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.
Setelah
pembredelan 21 Juni 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti
dengan mendirikan Tempo Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus
Informasi) pada tahun 1995. Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk
menjunjung kebebasan pers yang terbelenggu ada pada zaman Orde Baru. Kemudian
Tempo terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1998, setelah jatuhnya Orde
Baru. Fungsi Dewan Pers pada masa Orde Baru adalah lembaga yang menaungi pers
di Indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga
independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan
pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Pada masa Orde
baru, fungsi dewan pers tidaklah efektif. Dewan pers hanyalah formalitras semata.
Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak
buah dari pemerintah Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan
1994, banyak anggota dari dewan pers yang tidak menyetujui pembredelan.
Termasuk juga Gunaman Muhammad yang selaku editor Tempo juga termasuk
dalam dewan pers saat itu. Namun ironisnya, pada saat itu dewan persdiminta
untuk mendukung pembredelan tersebut. Meskipun dewan pers menolak pembredelan, tetap
saja pembredelan dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti
benar bahwa dewan pers hanya formalitas saja. Istilah pers digunakan dalam
konteks historis seperti pada konteks “press freedom or law” dan “power of the
press”. Sehingga dalam fungsi dan kedudukannya seperti itu, tampaknya, pers dipandang
sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat secara massal.
Seharusnya pers
selain mempengaruhi masyarakat, pers juga bisa mempengaruhi pemerintah.
Karena pengertian secara massal itu adalah seluruh lapisan masyarakat baik itu
pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan pers memang gagal
meningkatkan kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu
oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan hak-haknya.
E. JAMAN REFORMASI (1998 – sekarang )
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah
era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk
sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di
bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di
bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit. Sejak masa reformasi
tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan
dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat
Indonesia.
Akibatnya, awal reformasi banyak
bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Kalangan pers dapat bernafas lega ketika di era
reformasi ini pemerintah mengeluarkan
UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 40 tahun 1999 tentang
pers. Dalam UU pers tersebut dijamin
bahwa kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga Negara (pasal 4). Jadi tidak perlu surat izin usaha penerbitan
pers (SIUPP). Dalam UU ini juga dijamin
tidak ada penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana bunyi
pasal 4 (ayat 2).
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di
depan hukum, wartawan memiliki hak tolak, yaitu wartawan utuk tidak mengungkapkan identitas dan
keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Tujuan Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi,
dengan cara menolak
menyebutkan identitas sumber informasi. Hak itu dapat digunakan jika wartawan dimintai
keterangan pejabat penyidik atau menjadi saksi di pengadilan. Tapi hak tolak tidak berlaku atau dapat
dibatalkan demi keamanan, keselamatan Negara, atau ketertiban umum yang
dinyatakan oleh pengadilan, seperti teroris, pemberontak, penjahat, dll.
Dengan adanya kebebasnan pers maka tantangan terberat adalah datang dari kebebasan
pers itu sendiri, artinya sanggupkah seorang wartawan atau sebuah perusahaan
penerbitan untuk tidak menodai arti kebebasan itu dengan tidak menerima
pemberian atau godaan-godaan material yang berhubungan dengan sebuah berita
atau publikasi sebuah berita.
Siapapun sependapat bahwa pers di Indonesia saat ini memiliki
kebebasan yang sangat luar biasa pasca-reformasi, bahkan ada pendapat bahwa
kebebasan pers Indonesia sudah "kebablasan".
III. KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. KESIMPULAN
AWAL BERDIRINYA PERS
Awal mula
berdirinya PERS berangkat dari pemikiran untuk membantu mensyiarkan STTN-BATAN
kepada masyarakat umum serta membantu program batan mensosialisasikan nuklir
kepada masyarakat.Saat itu kami lihat sepertinya sarana itu buntu pada tatanan
pelakasanaan di lapangan.Ada kelemahan memang ketika nuklir disosialisasikan ke
masyarakat, batan maupun pemerintah selalu kesulitan karena minimnya corong
media yang dimiliki. Dua alasan itulah kami tergerak untuk mendirikan PERS. Mulailah
kami mengumpulkan beberapa teman yang memiliki pemikiran yang sama dengan
masing-masing idialismenya bekerja mempersiapkan segala kebutuhan
administratif, lobi sana-sini dan tepatnya tanggal 12 desember 2003 rapat
pertama sekaligus deklarasi berdirinya PERS. Premakarsa berdirinya PERS saat
itu terdiri dari beberapa orang teman-teman angkatan 2003 seperti Anas
Abdillah, Pak Cahyo, Dedy Husnurrofik, M.Ghozali Alhidayat, Haryo Seno, Chestarianto,
dll.
Ketua umum PERS
sekaligus merangkap pimred periode 2003-2005 Ghozali Al Hidayat, periode
2005-2007 mas Ghozali Al Hidayat kembali diberikan amanat untuk jadi ketua umum
dengan pimred Dinda Aulia Marhaeni, periode 2007-2008 Sis Prayogo dengan pimred
RiDha. Untuk periode berikutnya 2008 – 2009 pimpinan umum dipegang oleh Royyhan
dengan pimrednya RiDha. Untuk periode 2009 – 2010 Luckito Andi Nugroho dengan
pimred Mirza Ari Wibowo. Selanjutnya periode 2010-2011 pimpinan umum berpindah
ke Rito Laksono bersama pimrednya adalah Rizki Galura Septiana. Pada tahun 2011
– 2012 saudara Ahmad Faris Syaifudin dipercaya menjadi Pimpinan umum, sedangkan
untuk pimrednya adalah Arif Adityas Budiman. Sedangkan sekarang UKM PERS BETA
berada dibawah pimpinan Fatmawati Nurcahyani dengan pimrednya Gideon Randy
Natanael.
B. KESIMPULAN
AKHIR (Kondisi Pers Sekarang)
Kondisi politik di suatu negara akan sangat mempengaruhi keadaan
pers di negara tersebut. Pengaruh politik akan sangat besar terutama mengenai
sistem pers yang dianut dan seberapa besar kadar kebebasan pers yang ada.
Pengaruh terhadap Sistem politik yang di
anut.
Klasisikasi sistem pers dunia yang disajikan dalam buku Four
Theories of the Press (Siebert, Perterson, & Schramm, 1956). Para pengarang
membagi pers dunia ke dalam empat kategori: otoritarian, libertarian, tanggung
jawab sosial dan totalitarian Soviet. (Heru Puji winarso, 122: 2005). Pembagian
itu berdasarkan pengamatan mereka dengan menggunakan metode-metode ilmu sosial.
Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di mana
pers itu beroperasi. Untuk melihat perbedaan dan perspektif di mana pers
berfungsi, harus dilihat asumsi-asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu
mengenai: hakikat manusia, hakikat masyarakat dan negara, hubungan antara
manusia dan negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Pada akhirnya, perbedaan
antara system pers merupakan perbedaan filsafat yang mendasarinya.
Menurut Dominick, sistim media disuatu negara berkaitan dengan
sistim politik dinegara tersebut. Sistim politik menentukan kepastian hubungan
yang nyata antara media dan pemerintah (dalam Elvinaro Ardianto,2004:154).
Pembagian pers dalam dunia ini juga didasari pada keadaan politik di suatu
negara.Ini dapat dilihat dalam perjalan pers di dunia.Sistem otoritarian
berdasarkan sistem keadaan negara yang mempunyai kekuatan mutlak, pengawasan
yang ketat, dan ancaman pembredelan bagi media yang melanggar.Liberatarian yang
mengusung nilai-nilai kebebasan, tetapi ternyata akhirnya juga ditinggalkan
karena dinilai hanya mengusung kepentingan kapitalisme dibanding dengan
nilai-nilai edukasi.Berkembang teori tanggung jawab sosial, merupakan jawaban
bagi suatu pers yang bertanggung jawab tetapi juga mempunyai kepedulian dengan
terhadap masyarakat sebagai nilai tanggung jawab sosial.Totalitarian soviet
merupakan wujud dari kekuasan yang absolud kepada media dan tujuan media adalah
memberikan sumbangan terhadap suksesnya dan berlangsungnya sistem negara
soviet. Melihat perjalanan pers di dunia tampak jelas bahwa sistem politik,
akan sangat berpengaruh dalam sistem pers yang dianut. Keadaan politik
juga akan mempengaruhi kadar.
Keadaan politik juga akan sangat mempengaruhi kadar dalam kebebasan
pers yang ada. Konsep kebebasan pers sangat tergantung pada sistim politik di
mana pers itu berada.Dalam negara komunis atau otoriter, kebebasan pers dikembangkan
untuk membentuk opini pers yang mendukung penguasa.Sedangkan dalam negara
liberal atau demokrasi, kebebasan pers pada prinsipnya diarahkan untuk menuju
masyarakat yang sehat, bebas berpendapat dan berdemokrasi.
Pendekatan
filosofis barangkali bisa dipergunakan untuk melihat hubungan antara kebebasan
dan manusia sebagai individu. John Stuart Mill ( dalam Jakob Oetama : 1985 )
berpendapat, biarlah orang seorang mengembangkan kebebasannya yang absolut.
Dengan menggunakan proses kebebasan itu pikirannya yang rasional akhirnya akan
menemukan kebenaran. Singkat kata, apabila dipersoalkan kebebasan pers, maka
inti masalahnya adalah hubungan pers dan pemerintah. Kekuasaan dan
relasi-relasinya menentukan ada tidaknya kadar kebebasan tersebut. Pengertian
klasik ini tetap berlaku. Menurut Prof. Oemar Seno Adji SH, persoalan kebebasan
pers terlalu disoroti dari segi hukum saja. Sedangkan dalam prakteknya,
terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, persoalan
kebebasan pers lebih merupakan masalah politik. Artinya masalah hukum yang
diterapkan dan didalam penerapan itu politik ikut berperan dan berpengaruh
terhadap hubungan kekuasaan dan kepentingan
Media adalah suatu
alat yang digunakan seseorang untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas.
Media massa juga merupakan media yang selalu menjadi perhatian masyarakat. Kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini hampir tidak pernah lepas
dari media massa baik itu televisi, Koran, radio, atau internet.
Keefektifan serta peranannya yang begitu hebat menjadikan media massa menjadi salah satu komponen penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat.
Keefektifan serta peranannya yang begitu hebat menjadikan media massa menjadi salah satu komponen penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di
depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat
melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber
informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik
atau dimintai menjadi saksi di pengadilan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus